Kabupaten Solok | Desakan publik agar aparat penegak hukum menindak tegas praktik pertambangan emas ilegal di Kabupaten Solok kian menguat. Namun, hingga kini, nama-nama besar yang disebut-sebut masyarakat sebagai pengendali tambang ilegal, seperti Niko dan Suli, masih bebas menjalankan bisnis haramnya tanpa tersentuh hukum, Kamis 11 September 2025.
Padahal, dampak kerusakan lingkungan akibat aktivitas tambang emas ilegal ini sudah semakin luas: aliran sungai tercemar merkuri, lahan pertanian rusak, dan ekosistem hutan hancur. Meski situasi ini terus menuai protes, langkah tegas dari aparat hukum, baik di tingkat Polda Sumbar maupun Polres Solok, terkesan jalan di tempat.
Berdasarkan informasi yang dihimpun tim investigasi, aktivitas tambang emas ilegal di Solok kini melibatkan puluhan unit alat berat ekskavator dan mesin dompeng yang beroperasi hampir tanpa henti. Dari balik hiruk-pikuk dentuman mesin tersebut, muncul dugaan kuat adanya skema setoran atau upeti tetap per unit alat kepada oknum-oknum tertentu.
“Setiap unit ada setoran tetap. Itu sudah jadi rahasia umum. Karena itu, tambang tetap jalan meski sudah berkali-kali diprotes,” ujar seorang sumber terpercaya di lapangan.
Dengan pola semacam ini, operasi tambang menjadi semakin sulit disentuh. Buruh kasar hanya dijadikan tameng lapangan, sementara keuntungan besar serta aliran upeti masuk ke kantong segelintir orang yang memiliki kuasa.
Belakangan, isu Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) sengaja digulirkan untuk membungkus praktik ilegal yang berlangsung di lapangan. Sejumlah pihak diduga menggunakan dalih WPR demi melindungi aktivitas tambang ilegal berskala besar.
Padahal, secara hukum, penetapan WPR harus melalui kajian teknis, lingkungan hidup, serta izin resmi pemerintah pusat. Sampai saat ini, belum ada WPR resmi di Kabupaten Solok. Artinya, seluruh aktivitas tambang yang berlangsung dengan alat berat dan dompeng adalah murni ilegal.
“Kalau memang WPR mau dijadikan alasan, itu jelas menyesatkan. Sampai hari ini belum ada WPR resmi di Solok. Jadi tambang yang berjalan itu murni ilegal, apalagi dilakukan dengan alat berat dan dompeng skala besar,” tegas seorang pemerhati lingkungan.
Nama Niko dan Suli semakin sering terdengar di masyarakat Solok. Niko disebut menguasai jejaring di Nagari Kipek, sementara Suli mengendalikan aktivitas tambang di Nagari Supayang.
Keduanya bahkan dijuluki masyarakat sebagai “raja kecil” yang mampu mengatur siapa saja yang boleh menambang, berapa besar setoran yang harus dibayarkan, hingga melindungi operasi tambang dari jeratan hukum.
“Orang-orang di bawah hanya pekerja kasar. Semua tahu siapa bosnya. Tapi anehnya, nama Niko dan Suli tidak pernah disentuh hukum. Seolah-olah mereka kebal,” ungkap seorang warga yang meminta identitasnya dirahasiakan.
UU yang Dilanggar
Praktik pertambangan emas ilegal ini jelas melanggar sejumlah ketentuan hukum:
UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba)
- Pasal 158: “Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa izin dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar.”
UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH)
- Pasal 98 ayat (1): “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun serta denda paling sedikit Rp3 miliar dan paling banyak Rp10 miliar.”
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
- Pasal 55: mengenai penyertaan atau pihak yang turut serta dalam kejahatan. Artinya, bukan hanya operator lapangan, melainkan juga pemodal, pengendali, hingga oknum penerima setoran bisa dijerat hukum.
Publik kini menantang aparat penegak hukum, khususnya Polda Sumbar dan Polres Solok, untuk benar-benar berani membongkar lingkaran mafia emas ilegal ini.
“Kalau aparat tidak serius, jangan salahkan masyarakat kalau kehilangan kepercayaan. Karena yang rusak bukan hanya sungai dan tanah, tapi juga keadilan,” tegas seorang tokoh masyarakat Solok.
Gelombang tekanan semakin besar. Pertanyaan yang menggantung kini sederhana:
Apakah Kapolda Sumbar berani menyentuh nama besar seperti Niko dan Suli, atau justru terus membiarkan mereka menari di atas penderitaan rakyat dan kerusakan lingkungan?
TIM