Murni Yanti Diduga Bohongi Warga Soal Izin, Warga RT 02 Parak Laweh Bersatu Tolak Pendirian Tower Telkomsel

GLADIATOR
0

Dugaan Manipulasi Perizinan, Arogansi Ketua RT, hingga Ancaman Radiasi Jadi Alasan Warga Melawan

PADANG | Rencana pendirian tower telekomunikasi Telkomsel di RT 02, Kelurahan Parak Laweh Timur, Kecamatan Lubuk Begalung, Kota Padang, kini menjadi polemik besar. Proyek yang awalnya diproyeksikan untuk memperkuat jaringan komunikasi justru berbalik menuai penolakan keras dari warga.
Pasalnya, Ketua RT 02 Murni Yanti dituding telah melakukan manipulasi informasi dan kebohongan publik terkait izin pendirian tower. Kepada warga, Murni Yanti dengan lantang menyebut izin resmi dari pemerintah sudah keluar. Namun, fakta yang terkuak menunjukkan bahwa izin pendirian tower tersebut sama sekali belum diterbitkan instansi berwenang.

Warga Marah, RT Dituduh Hancurkan Kepercayaan Publik

Masyarakat RT 02 Parak Laweh Timur mengaku sangat kecewa. Mereka merasa telah dibohongi oleh sosok yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga aspirasi warga.“Ketua RT itu ujung tombak masyarakat, bukan penyambung bohong. Kalau izin saja belum ada tapi disampaikan sudah selesai, itu artinya kami ditipu. Bagaimana kami bisa percaya lagi pada pemimpin di lingkungan kami sendiri?” ungkap warga berinisial Y dengan penuh emosi kepada wartawan.

Warga menilai perbuatan Murni Yanti tidak hanya merusak kepercayaan, tetapi juga mencederai fungsi dan marwah seorang Ketua RT. “Seorang Ketua RT seharusnya jujur, transparan, dan berpihak kepada warganya. Bukan justru memihak kepentingan bisnis dengan mengorbankan masyarakat,” tambah Y dengan nada tegas.

Ketua RT Dikonfirmasi, Sikap Arogan Jadi Sorotan

Konfirmasi wartawan kepada Ketua RT 02 justru mempertebal kekecewaan warga. Dalam pertemuan dengan media, Murni Yanti kembali menyatakan bahwa izin sudah keluar dan meminta masyarakat tidak perlu meragukan.
Namun, sikap yang ditunjukkan bukanlah sikap pemimpin yang mengayomi. Ketua RT 02 justru menunjukkan arogansi dengan merekam wartawan tanpa izin. Padahal, profesi wartawan dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Tindakan merekam tanpa persetujuan bukan saja dianggap tidak sopan, tetapi juga berpotensi melanggar hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), terutama pasal mengenai perlindungan privasi dan distribusi konten tanpa izin.

“Ini bentuk penghinaan terhadap profesi pers. Seorang Ketua RT seharusnya paham etika, bukan malah mempertontonkan sikap angkuh di depan tamu yang datang dengan niat baik,” ujar salah seorang wartawan yang turut hadir.

Sosialisasi Minim, Diduga Hanya Libatkan Orang Dekat

Selain dugaan manipulasi izin, proses sosialisasi pendirian tower juga disorot tajam. Warga menyebut rapat-rapat yang dilakukan hanya melibatkan segelintir orang yang dekat dengan Ketua RT. Tokoh masyarakat, tokoh agama, maupun warga yang tinggal dalam radius terdampak tower tidak pernah diajak duduk bersama.

“Tower ini dampaknya ke semua orang di sekitar lokasi, bukan hanya ke orang-orang yang dekat dengan Ketua RT. Seharusnya sosialisasi dilakukan terbuka, transparan, dan adil. Kalau seperti ini jelas ada permainan,” ungkap Y.

Praktik ini diduga menabrak aturan dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 02/PER/M.KOMINFO/3/2008 yang secara tegas mengatur bahwa pendirian menara telekomunikasi wajib melalui proses perizinan resmi, analisis dampak, serta sosialisasi kepada seluruh masyarakat terdampak.

Warga Khawatir Radiasi, Siap Gelar Aksi Penolakan

Selain isu perizinan, faktor kesehatan juga menjadi alasan utama penolakan. Warga khawatir keberadaan tower akan membawa dampak radiasi yang bisa membahayakan kesehatan mereka, terutama anak-anak.

“Kalau tower ini dipaksakan berdiri, kami akan turun ke jalan. Kami siap demo besar-besaran dengan spanduk menolak tower. Kesehatan kami jauh lebih penting daripada kepentingan bisnis,” tegas Y mewakili suara warga lainnya.

Dugaan Penyimpangan Kontrak Sewa Tanah

Masalah tak berhenti sampai di situ. Warga juga menyinggung dugaan penyimpangan dalam kontrak sewa tanah untuk lokasi tower. Informasi yang beredar menyebut bahwa kontrak tersebut dikelola secara tidak transparan oleh Ketua RT 02.

“Kontrak sewa tanah juga masih diselewengkan. Kami minta masalah ini dibuka terang-benderang agar tidak ada yang dirugikan,” ungkap seorang warga lain.

Sorotan Hukum dan Potensi Pelanggaran

Kasus ini memunculkan dugaan pelanggaran serius yang tidak bisa dianggap remeh:

  1. UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers – dugaan pelecehan terhadap profesi wartawan.
  2. UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE – tindakan merekam tanpa izin dapat dikategorikan pelanggaran privasi.
  3. UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan – dugaan penyampaian informasi menyesatkan terkait perizinan.
  4. Permenkominfo No. 02 Tahun 2008 – kewajiban sosialisasi dan izin resmi sebelum pendirian tower diduga tidak dipenuhi.

Jika dugaan ini terbukti, maka perbuatan Ketua RT 02 bukan hanya melanggar etika, tetapi juga berpotensi menjeratnya pada sanksi hukum.

Warga Kompak Menolak, Pemerintah Diminta Bertindak

Dengan sederet dugaan penyimpangan ini, warga RT 02 Parak Laweh Timur menegaskan sikap kompak untuk menolak pembangunan tower. Mereka mendesak pemerintah kota hingga aparat penegak hukum turun tangan.

“Kami tidak akan tinggal diam. Jika pemerintah tidak segera bertindak, kami akan bergerak dengan cara kami sendiri. Tower ini harus dibatalkan,” tegas warga dengan suara bulat.

Kasus ini menjadi bukti bahwa praktik manipulasi informasi di tingkat akar rumput masih kerap terjadi, bahkan dilakukan oleh pejabat lingkungan yang seharusnya melindungi warga. Investigasi lebih lanjut terkait dugaan penyimpangan kontrak sewa tanah akan menjadi sorotan tajam pada edisi investigasi berikutnya.

TIM

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)