Dugaan Material Tak Sesuai Spek di Proyek Abrasi Tiku Mencuat, Publik Pertanyakan Pengawasan
Proyek Rp17,9 Miliar di Pantai Tiku Diduga Pakai Batu Ilegal, Kualitas Konstruksi Dipersoalkan
Penanganan Abrasi Pantai Tiku Disorot: Material Dianggap Tidak Standar dan Berpotensi Rugikan Negara
Polemik Proyek Abrasi Tiku: Batu Kecil, Legalitas Dipertanyakan, Audit Menyeluruh Didesak
TIKU, AGAM | Proyek penanganan abrasi Pantai Tiku, Kecamatan Tanjung Mutiara, Kabupaten Agam, kembali menjadi sorotan setelah muncul dugaan penggunaan material batu yang tidak sesuai spesifikasi teknis. Di lapangan, ditemukan batu jetty yang berukuran kecil, tidak seragam, dan dinilai tidak memenuhi standar bobot untuk konstruksi pemecah gelombang. Kondisi ini memunculkan pertanyaan besar: bagaimana material seperti itu bisa digunakan dalam proyek bernilai hampir Rp18 miliar?
Kecurigaan semakin menguat ketika muncul dugaan bahwa batu yang dipakai tidak berasal dari tambang resmi. Informasi yang berkembang menyebutkan bahwa material diangkut dari area Lubuk Basung tanpa dokumen lengkap. Hal ini menimbulkan kekhawatiran serius karena aktivitas tambang tanpa izin bukan hanya melanggar aturan teknis, tetapi juga dapat masuk kategori tindak pidana pertambangan.
Sejumlah warga pesisir Tiku menyampaikan kekhawatiran mereka. Proyek yang seharusnya menjadi penahan abrasi justru dianggap berpotensi gagal berfungsi jika kualitas batu tidak sesuai standar. “Kalau batunya kecil seperti ini, bagaimana bisa menahan ombak besar? Ini nyawa kami yang dipertaruhkan,” ujar salah seorang nelayan yang enggan disebutkan namanya.
Para tokoh masyarakat dan pemerhati lingkungan meminta agar pemerintah daerah dan aparat penegak hukum turun tangan melakukan audit menyeluruh. Mereka menilai perlunya pemeriksaan legalitas sumber material, kualitas batu, proses pengawasan, hingga dugaan adanya pembiaran oleh pihak terkait. Transparansi dianggap kunci untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat.
Dalam proyek pemerintah, penggunaan material tidak sesuai kontrak merupakan indikasi adanya potensi kerugian negara. Para aktivis antikorupsi menilai bahwa persoalan material ilegal harus dijadikan pintu masuk bagi penyelidikan lebih luas. Bila terbukti benar, maka rantai distribusi batu dan keterlibatan pihak-pihak tertentu wajib diusut tuntas.
Dari sisi teknik, konsultan pengawas dan instansi teknis daerah turut menjadi sorotan. Banyak yang mempertanyakan bagaimana material diduga tidak standar bisa lolos dan digunakan tanpa ada catatan koreksi. Dugaan kelalaian atau pembiaran dalam pengawasan menjadi salah satu isu yang kini mencuat di tengah publik.
Belum lagi persoalan potensi pelanggaran hukum yang mengiringinya. Jika material berasal dari tambang tanpa izin, kuat dugaan telah terjadi pelanggaran UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba, Pasal 158, yang mengatur sanksi bagi kegiatan tambang ilegal dengan ancaman penjara maksimal 5 tahun dan denda hingga Rp100 miliar.
Bila proses pengangkutan material tanpa dokumen sah terbukti, maka dapat diterapkan UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Pasal 277, dengan ancaman 1 tahun penjara dan denda Rp24 juta. Jika lokasi galian berada di kawasan hutan tanpa izin, maka berlaku UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pemberantasan Perusakan Hutan, dengan ancaman 15 tahun penjara dan denda Rp10 miliar.
Sementara itu, penggunaan material tidak sesuai spek dalam konstruksi pemerintah berpotensi melanggar UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi yang memuat sanksi administratif berat hingga pencabutan izin. Bila menimbulkan kerugian negara, maka pelanggaran ini dapat naik menjadi pidana melalui UU Tipikor Pasal 2 dan 3, dengan ancaman penjara 4–20 tahun dan denda Rp200 juta–Rp1 miliar.
Situasi ini membuat publik mendesak agar pemerintah pusat maupun daerah tidak tinggal diam. Selain audit fisik, masyarakat meminta investigasi menyeluruh atas proses pengadaan, kontrak kerja, spesifikasi material, dan jalur distribusi batu. Publik menilai bahwa pengawasan yang lemah hanya akan membuka ruang penyimpangan yang merugikan negara dan masyarakat pesisir.
Bagi warga Pantai Tiku, proyek ini bukan sekadar pembangunan, tetapi benteng pertahanan hidup. Mereka berharap setiap rupiah dari anggaran benar-benar digunakan sesuai peruntukan, bukan menjadi ladang keuntungan pihak-pihak yang mencari celah. Kualitas pekerjaan yang buruk tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga pada keselamatan dan ekonomi masyarakat.
Kini publik menunggu jawaban resmi dari pemerintah daerah, kontraktor, dan pihak pengawas proyek. Mereka berharap klarifikasi yang disampaikan bukan hanya pembelaan, tetapi langkah konkret yang memastikan pekerjaan benar-benar sesuai spesifikasi, legal, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Catatan Redaksi
Tulisan ini disusun berdasarkan investigasi lapangan, penelusuran dokumen, dan keterangan berbagai sumber. Redaksi memberikan ruang bagi pihak terkait untuk memberikan klarifikasi atau hak jawab secara proporsional.
TIM
