Solok Selatan, Sumatera Barat – 14 Oktober 2025 | Gelombang kemarahan warga Jorong Pekonina di Kecamatan Pauh Duo, Kabupaten Solok Selatan, meledak di depan gerbang proyek panas bumi milik PT Supreme Energy Muara Laboh (SEML).
Warga menuduh perusahaan besar itu melanggar izin adat, menyalurkan solar ilegal, dan mengingkari perjanjian perekrutan tenaga kerja lokal yang dulu dijanjikan kepada masyarakat.
Spanduk protes terbentang lebar di jalan masuk proyek, dengan tulisan keras:
“Jangan Rampas Tanah Ulayat Kami!”
“Janji 70% Tenaga Lokal Itu Nyata, Bukan Iklan!”
Janji 70% Tenaga Lokal Berubah Jadi 20%: “Kami Hanya Penonton di Tanah Sendiri”
Sebelum proyek geothermal itu berdiri, PT Supreme Energy menjanjikan 70% tenaga kerja akan berasal dari masyarakat Solok Selatan, dan hanya 30% dari pihak luar atau pusat.
Namun kini, warga menyebut hanya 20% orang lokal yang bekerja di dalam proyek, sementara sisanya 80% didatangkan dari luar daerah.
“Kami bukan menolak pembangunan. Tapi jangan tipu kami. Janjinya 70% untuk masyarakat Solok Selatan, kenyataannya kami cuma jadi penonton,” ujar seorang tokoh masyarakat Pekonina yang hadir dalam aksi.
Ironisnya, di saat tenaga kerja lokal terpinggirkan, jalan menuju proyek justru dibuka tanpa izin masyarakat adat, melanggar etika dan kesepakatan wilayah ulayat.
“Itu tanah kami, tanah adat. Dibuka begitu saja tanpa musyawarah. Ini bentuk arogansi perusahaan,” tambahnya.
Jejak Solar Ilegal: 50 Ribu Liter per Bulan Diduga Masuk Tanpa Dokumen Resmi
Sumber investigasi di lapangan menyebutkan, PT Supreme Energy diduga menerima pasokan solar ilegal sekitar 50 ribu liter per bulan, yang disuplai oleh seorang pemasok berinisial Pindo, dengan jaringan distribusi berasal dari Palembang dan Kuala Tungkal Jambi.
Namun setiap kali pasokan masuk, dokumen permintaan dan faktur pajak tidak pernah ditunjukkan.
“Yang datang cuma surat jalan biasa. Tidak ada dokumen resmi dari perusahaan atau ESDM,” ujar seorang pekerja lapangan yang meminta identitasnya disembunyikan.
Dugaan ini mengarah pada tindak pidana penyalahgunaan bahan bakar minyak bersubsidi dan pemalsuan dokumen, sebagaimana diatur dalam:
Pasal 55 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi,
Pasal 263 KUHP tentang Pemalsuan Dokumen.
Lebih parah, warga menduga ada bekingan oknum aparat yang mengamankan arus distribusi solar tersebut agar lolos dari pemeriksaan jalan raya.
Solar Palsu, Mesin Rusak, dan Kerugian Masyarakat
Dampak solar ilegal itu kini nyata terasa.
Banyak sopir dan operator alat berat mengeluhkan kerusakan filter dan mesin kendaraan akibat solar yang cepat kotor dan mengandung endapan.
“Biasanya filter solar diganti tiga bulan sekali, sekarang dua minggu sudah rusak. Solar palsu bikin mesin cepat mati,” kata seorang sopir proyek yang menunjukkan foto saringan minyak hitam pekat.Kerusakan beruntun membuat warga menanggung beban ekonomi baru. Padahal sebagian besar dari mereka bekerja harian dengan upah pas-pasan.
“Kami disuruh kerja, tapi malah dirugikan. Solar palsu bikin rugi kami, bukan perusahaan,” ujarnya.
PLT Anwar Bungkam, Humas Supreme Energy Pilih Diam
Upaya media untuk meminta konfirmasi kepada pihak perusahaan berujung buntu.
Anwar, yang kini menjabat sebagai Pelaksana Tugas (PLT) pimpinan proyek, menolak ditemui dan memilih diam.
Seorang staf humas hanya menyebutkan bahwa pihaknya “menunggu arahan pimpinan”.
“Kami belum bisa memberikan pernyataan. Kepala perusahaan sedang cuti,” ujarnya singkat melalui pesan WhatsApp.
Sementara Pindo, pihak yang disebut sebagai pemasok solar, membantah keras tudingan tersebut.
“Saya hanya kirim minyak sesuai permintaan PT Supreme Energy. Tidak pernah ada komplain,” ujarnya.
“Perisai Wartawan”: Dugaan Strategi Menutup Isu Negatif
Selain persoalan solar ilegal dan janji kerja yang diingkari, warga juga menyoroti langkah perusahaan yang diduga membentuk kelompok wartawan binaan untuk meredam berita buruk tentang perusahaan.
“Kalau mereka bersih, kenapa harus sembunyi di balik wartawan binaan? Itu cara membungkam kritik,” ujar seorang peserta aksi dengan nada geram.
Desakan Audit dan Penyelidikan Hukum
Warga Pekonina menuntut agar Kementerian ESDM, Dinas Lingkungan Hidup Sumbar, dan Kepolisian Resor Solok Selatan segera menggelar audit operasional PT Supreme Energy.
Mereka juga meminta Kejaksaan Negeri Solok Selatan menelusuri dugaan kerugian negara akibat solar ilegal yang bisa mencapai miliaran rupiah setiap tahun.
“Kami minta audit dan tindakan hukum. Jangan ada perusahaan besar yang kebal hukum di atas penderitaan rakyat kecil,” tegas salah seorang perwakilan aksi.
Catatan Redaksi:
Berita ini disusun melalui investigasi lapangan, keterangan saksi masyarakat, serta upaya konfirmasi resmi kepada pihak PT Supreme Energy Muara Labuh, PLT Anwar, dan pemasok solar terkait. Hingga berita ini diterbitkan, redaksi belum menerima tanggapan resmi dari pihak perusahaan maupun instansi terkait.
Redaksi tetap membuka ruang hak jawab bagi PT Supreme Energy, Kementerian ESDM, dan aparat hukum untuk klarifikasi lebih lanjut.
TIM