KAB. SOLOK | Dugaan praktik maladministrasi dan penyalahgunaan wewenang kembali mengguncang lingkungan birokrasi di Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Kasus ini menimpa Qory Syuhada, seorang tenaga honorer non-ASN yang telah mengabdi selama lebih dari 10 tahun di lingkungan Dinas Koperasi, UKM, Perindustrian dan Perdagangan (DKUKMPP) Kabupaten Solok.
Alih-alih mendapatkan kepastian status kepegawaian, Qory justru mengalami nasib memilukan. Ia diblokir dari sistem absensi dinas tanpa penjelasan resmi, dan dimutasi ke lokasi kerja yang sangat jauh dari tempat tinggalnya—dalam kondisi yang dinilai tidak manusiawi dan tak berdasar hukum administrasi yang berlaku.
Namun, di tengah ketidakpastian tersebut, Qory tetap memilih untuk menjalani tugas harian sebagaimana mestinya, dengan harapan suatu saat akan ada kejelasan status dan keadilan bagi dirinya.
“Saya tetap bekerja sesuai tanggung jawab saya, walaupun absensi saya diblokir sejak beberapa waktu lalu. Saya hanya ingin status saya jelas secara administratif,” ujarnya kepada awak media, Minggu (21/7/2025).
Dengan nada lirih, Qory mengaku pasrah dengan situasi yang ia hadapi.
“Saya ini rakyat kecil, tidak punya kekuatan atau pengaruh. Harapan saya sederhana saja—bisa lolos sebagai PPPK,” tuturnya.
Indikasi Konflik Kepentingan dan Dendam Pribadi
Dugaan ketidakadilan yang dialami Qory semakin memperkuat indikasi adanya konflik kepentingan di balik keputusan mutasi dan pemblokiran absensinya. Berdasarkan keterangan sejumlah sumber internal yang enggan disebutkan namanya, tindakan terhadap Qory disinyalir bermula dari konflik pribadi antara dirinya dengan istri Bupati Solok, yang disebut-sebut memiliki sejarah perselisihan lama dengannya.
Mutasi ke lokasi terpencil yang mempersulit akses dan jarak tempuh Qory, serta pemblokiran absensi tanpa surat keputusan resmi, memperkuat asumsi bahwa langkah ini lebih bermuatan balas dendam ketimbang alasan profesionalitas atau kebutuhan organisasi.
Padahal, secara administratif, Qory adalah honorer aktif yang terdaftar dalam database Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan telah mengikuti tahapan seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Artinya, status dan haknya sebagai bagian dari tenaga pendukung birokrasi seharusnya dilindungi oleh regulasi yang ada, bukan dijadikan sasaran konflik personal oleh pejabat atau keluarga pejabat daerah.
Ombudsman RI Sumbar Turun Tangan
Kasus ini telah menarik perhatian Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Sumatera Barat, yang kini secara resmi tengah melakukan pendalaman dan kajian terhadap laporan yang masuk. Ombudsman berwenang menelusuri indikasi maladministrasi, penyalahgunaan wewenang, diskriminasi jabatan, serta pelanggaran terhadap prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.
Jika terbukti terdapat campur tangan pribadi dari pejabat publik atau keluarganya, tindakan tersebut bisa dikategorikan sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, serta dapat dikenai sanksi administratif dan etik berdasarkan peraturan perundang-undangan kepegawaian.
Dalam konteks ini, pemerintah daerah seharusnya bersikap netral dan objektif dalam menyusun struktur organisasi dan penempatan tenaga kerja, bukan dijadikan alat untuk melampiaskan dendam atau kepentingan keluarga pejabat.
Potret Buram Sistem Kepegawaian di Daerah
Kisah yang menimpa Qory hanyalah satu dari sekian banyak potret buram sistem kepegawaian di daerah, khususnya bagi tenaga honorer yang telah lama mengabdi tanpa kejelasan status. Mereka yang menggantungkan harapan pada program PPPK, justru masih kerap menjadi korban ketidakadilan birokrasi dan politisasi jabatan.
Fenomena seperti ini bukan hanya merugikan individu, tapi juga mencederai integritas pelayanan publik. Ketika jabatan dan wewenang disalahgunakan untuk kepentingan pribadi, maka prinsip merit sistem dan reformasi birokrasi yang selama ini digaungkan pemerintah menjadi semu.
Publik Menuntut Transparansi dan Keadilan
Masyarakat kini menanti langkah konkret dari Bupati Solok, Inspektorat Daerah, BKPSDM, serta Ombudsman, untuk memberikan kejelasan, keadilan, dan perlindungan terhadap Qory Syuhada sebagai tenaga honorer yang sah. Selain itu, kasus ini dapat menjadi momentum bagi seluruh tenaga non-ASN di Indonesia untuk menyerukan perlindungan hukum dan pengawasan terhadap praktik-praktik semena-mena di pemerintahan daerah.
Penyelenggara pemerintahan tidak boleh menggunakan kekuasaan untuk menekan, memindahkan, atau menyingkirkan seseorang hanya karena alasan personal. Bila kasus ini dibiarkan, maka akan menjadi preseden buruk dalam tata kelola kepegawaian di tingkat lokal maupun nasional.
Bersambung....
Tim