KAB. SOLOK | Gelombang kaget publik mengiringi langkah Bupati Solok, Jon Firman Pandu, SH, yang pada Selasa (30/9/2025) menunjuk 12 Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala OPD di lingkungan Pemkab Solok. Dari sederet nama pejabat yang ditunjuk, satu nama langsung menjadi sorotan nasional: Kurniati, S.Si, M.Si—istri Bupati sendiri.
Kurniati ditunjuk sebagai Plt. Staf Ahli Bupati Bidang Kemasyarakatan dan SDM, menggantikan drg. Musfir Yones Indra. Penunjukan ini menuai tanda tanya besar, mengingat Kurniati baru tiga bulan lalu dilantik menjadi Kepala Bagian Protokol dan Komunikasi Pimpinan (Prokomp). Sebelumnya, ia hanyalah pejabat fungsional madya di Dinas Kesehatan Kota Solok, bukan di Pemkab Solok.
Artinya, loncatan karier Kurniati bukan lagi sekadar “melompat tangga birokrasi”, melainkan melompat pagar aturan.
Nafsu Jabatan dan Fenomena "Bunda Segala Bunda"
Sejak mendampingi Jon Firman Pandu sebagai Bupati Solok, Kurniati bukan sosok yang asing dari panggung publik. Ia mengoleksi seabrek jabatan kehormatan: Bunda PAUD, Bunda Guru, Bunda Literasi, Bunda Lingkungan Hidup, Bunda Stunting, hingga berbagai posisi strategis sebagai Ketua TP PKK, Ketua Dekranasda, dan Ketua Tim Pembina Posyandu.
Kini, penunjukan sebagai Plt. Staf Ahli Bupati semakin menambah daftar panjang kuasa yang ia sandang. Publik pun menyindirnya dengan sebutan “Bunda Segala Bunda”.
Namun, di balik itu, terselip kritik tajam: apakah ini masih dalam koridor pelayanan publik, atau sudah mengarah pada nafsu kekuasaan yang membutakan?
Payung Hukum yang Dilanggar
Penunjukan istri kepala daerah sebagai pejabat struktural bukan sekadar soal etika, melainkan berpotensi melanggar undang-undang.
UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN)
- Pasal 3: ASN harus bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik nepotisme, serta menjunjung merit system.
- Pasal 9: Jabatan ASN harus diisi berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja, bukan karena hubungan keluarga.
UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
- Pasal 17: Pejabat dilarang melakukan penyalahgunaan wewenang, termasuk menunjuk orang dekat dalam jabatan publik.
Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS
- Pasal 108-110: Pengisian jabatan pimpinan tinggi pratama wajib melalui seleksi terbuka oleh panitia seleksi independen.
Dengan demikian, loncatan Kurniati dari fungsional madya ke jabatan eselon II—even status Plt.—bertentangan dengan prinsip merit system.
Nepotisme dalam Bingkai Korupsi Kekuasaan
Fenomena penunjukan istri sebagai pejabat negara sudah lama menjadi perhatian KPK. Dalam laporan Indeks Integritas Sektor Publik, praktik nepotisme dikategorikan sebagai bentuk korupsi non-materiil, yakni penyalahgunaan kewenangan untuk menguntungkan keluarga atau kerabat.
KPK menegaskan bahwa nepotisme merusak sendi tata kelola pemerintahan, menyingkirkan pejabat yang lebih kompeten, serta merugikan masyarakat luas.
Jika dibiarkan, kasus di Kabupaten Solok berpotensi menjadi preseden buruk: kepala daerah dengan leluasa mengangkat istri atau keluarga sendiri, berlindung di balik alasan “Plt.”
Sekda dan Inspektur: "Jabatan Sakti" yang Tak Tersentuh
Selain isu Kurniati, publik juga menyorot dua jabatan eselon II yang terkesan “kebal” dari evaluasi. Yakni, Sekda Medison, S.Sos, M.Si dan Kepala Inspektorat Deri Akmal, ST.
Keduanya tidak tersentuh Jobfit maupun seleksi ulang, sementara belasan pejabat lain diputar balik posisinya. Kondisi ini menimbulkan dugaan adanya perlakuan istimewa atau bahkan deal politik di balik layar birokrasi.
Bupati Membela Diri
Menanggapi sorotan publik, Bupati Jon Firman Pandu berkilah:
“Tidak boleh ada kekosongan jabatan. Pelayanan kepada masyarakat harus tetap berjalan. Penunjukan Plt hanya sementara sampai seleksi terbuka selesai.”
Namun, alasan tersebut tidak serta-merta menepis pertanyaan publik: mengapa harus istri sendiri yang ditunjuk?
Cermin Buram Demokrasi Lokal
Kasus di Kabupaten Solok menunjukkan bagaimana demokrasi lokal bisa berubah wajah menjadi dinasti politik. Bupati yang seharusnya menjadi teladan merit system justru menempatkan keluarga sendiri di kursi kekuasaan.
Kurniati boleh saja cerdas dan berpendidikan tinggi. Tetapi, tanpa proses seleksi yang transparan, penunjukannya akan selalu dipandang sebagai praktik nepotisme—sebuah noda di atas kertas putih ASN.
Penutup
Praktik semacam ini bukan hanya soal etika, tapi soal hukum. UU ASN jelas melarang nepotisme, PP Manajemen PNS mengatur seleksi terbuka, dan KPK menegaskan nepotisme sebagai bentuk korupsi.
Jika pemerintah pusat, KASN, dan aparat penegak hukum tidak bertindak, maka kasus istri Bupati Solok duduk di kursi Staf Ahli bisa menjadi bom waktu bagi tata kelola pemerintahan daerah di Indonesia.
TIM