Kab. Solok, Sumatera Barat | Deru mesin dompeng kembali menggema di perbukitan Solok. Sungai-sungai yang dulu jernih kini mengalir pekat, membawa endapan lumpur dan merkuri ke sawah warga. Di balik pemandangan itu, terbentang jaringan besar tambang emas tanpa izin (PETI) yang kian liar, melibatkan bukan hanya masyarakat biasa, tapi juga nama-nama dari kalangan aparat dan anggota legislatif.
Hasil penelusuran di lapangan mengungkap setidaknya Hampir Mendekati Angka 100 unit PETI beroperasi di bawah wilayah hukum Polres Aro Suka, mencakup tiga kecamatan besar: Hilir Gumanti, Payung Sikaki, dan Tigo Lurah. Lebih dari 50 jorong tercatat mengalami dampak langsung — mulai dari rusaknya aliran air, hilangnya vegetasi, hingga menurunnya hasil pertanian.
Peta Kerusakan dan Wilayah Operasi
Di Kecamatan Hilir Gumanti, aktivitas tambang terkonsentrasi di Nagari Sungai Abu, Sariak Alahan Tigo, dan Talang Babungo. Sungai-sungai kecil yang mengalir dari punggung bukit kini menjadi saluran limbah tambang, mematikan ikan dan mengeraskan tanah sawah.
Di Kecamatan Payung Sikaki, alat berat bekerja bebas di wilayah Supayang, Sirukam, dan Aia Luo. Sementara Kecamatan Tigo Lurah menjadi episentrum terbesar dengan aktivitas di Simanau, Tanjung Balik Sumiso, Gerobak Data, Batu Bajanjang, dan Rangkiang Luluih.
Laporan masyarakat menyebut, kegiatan ini berlangsung nyaris tanpa gangguan berarti. Bahkan, di beberapa titik, para penambang mengaku “aman” karena merasa mendapat perlindungan dari pihak-pihak tertentu.
Jaringan di Balik Tambang
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa tambang-tambang ilegal ini tidak dijalankan oleh warga kecil semata. Ada dugaan kuat keterlibatan sejumlah oknum yang mestinya menjadi penjaga hukum dan aturan.
Dalam catatan internal yang beredar, nama-nama dari unsur berikut disebut ikut terlibat:
- Oknum aparat keamanan (TNI dan Polri)
- Oknum anggota DPRD Kabupaten Solok
- Beberapa pengusaha lokal dan perantara alat berat
- Satu oknum perempuan yang diduga mengelola distribusi hasil tambang
Dugaan ini menguat seiring munculnya pola “pembiaran terstruktur” — di mana operasi tetap berjalan meski laporan sudah berkali-kali diajukan masyarakat ke aparat penegak hukum.
Seorang warga di Nagari Simanau, yang meminta namanya disamarkan, mengatakan.
“Kami sudah lapor sejak lama. Tapi yang datang hanya patroli sebentar, habis itu alat berat beroperasi lagi. Kalau rakyat kecil yang menambang, cepat ditangkap. Tapi kalau yang punya beking, aman saja.”
Kerusakan Lingkungan yang Meningkat
Di sepanjang aliran Sungai Sirukam dan Sungai Luluih, air berubah warna pekat kehijauan. Endapan lumpur menutup dasar sungai, membuat habitat ikan menghilang.
Lahan pertanian yang dulu subur kini kehilangan daya serap air, sementara beberapa jorong mengalami kekeringan karena aliran sungai terputus akibat aktivitas galian.
Dinas lingkungan daerah pernah mencatat bahwa kandungan merkuri (Hg) di air sungai di beberapa titik Solok sudah melewati ambang batas aman. Namun, hingga kini belum ada langkah tegas berupa penutupan atau penyegelan lokasi tambang.
Diamnya Penegakan Hukum
Institusi berwenang di tingkat daerah hingga provinsi semestinya sudah memiliki dasar hukum untuk menertibkan PETI. Dalam praktiknya, kewenangan itu seolah tak berjalan.
Pihak-pihak yang seharusnya aktif mengawasi antara lain:
- Polres Solok Aro Suka (Satreskrim)
- Polda Sumbar (Ditreskrimsus)
- Kodim 0309/Solok dan Tim Intel Korem 032
- Pemerintah daerah setempat melalui dinas lingkungan dan ESDM
Namun, keberadaan 90 unit tambang tanpa izin yang tetap beroperasi menunjukkan lemahnya komitmen pengawasan dan dugaan adanya pembiaran sistematis.
Aspek Hukum yang Dilanggar
Aktivitas tambang emas ilegal secara jelas melanggar Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), yang berbunyi:
“Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa izin dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).”
Selain itu, kegiatan PETI juga berpotensi melanggar:
- Pasal 161A UU No. 3/2020, yang mengatur sanksi bagi pihak yang turut membantu, membiayai, atau memfasilitasi kegiatan pertambangan tanpa izin.
- Pasal 98 dan 99 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mengancam pidana hingga 10 tahun bagi pelaku pencemaran berat yang mengakibatkan kerusakan lingkungan.
Dengan dasar ini, aparat penegak hukum sebenarnya memiliki ruang hukum yang kuat untuk menindak pelaku, termasuk pihak yang memberikan dukungan atau perlindungan di balik layar.
Desakan Publik dan Harapan Penegakan Hukum
Masyarakat Solok kini menuntut tindakan nyata. Mereka menolak tambang ilegal yang merusak lingkungan dan memecah kehidupan sosial di nagari.
Beberapa kelompok pemuda dan tokoh adat telah mulai menggalang dukungan agar aparat pusat turun tangan. Mereka menilai, hanya dengan keterlibatan langsung dari aparat di tingkat provinsi atau bahkan nasional, kasus ini bisa ditangani secara bersih.
“Jangan lagi hukum hanya tajam ke bawah,” kata salah seorang tokoh masyarakat di Hilir Gumanti. “Kalau aparat dan pejabat ikut menambang, siapa lagi yang bisa dipercaya rakyat?”
Catatan Investigatif
Fenomena PETI di Kabupaten Solok mencerminkan dua wajah keadilan: satu untuk rakyat kecil, satu lagi untuk mereka yang punya kuasa.
Tambang ilegal ini bukan hanya persoalan ekonomi, tapi juga korupsi moral — ketika pejabat publik ikut mengeruk emas rakyat dan merusak tanah yang seharusnya mereka lindungi.
Jika negara tidak segera bertindak, bukan hanya alam Solok yang hancur, tapi juga kepercayaan publik terhadap sistem hukum.
Karena keadilan yang dibiarkan timpang, akan menambang kehancuran lebih dalam dari sekadar lubang-lubang PETI itu sendiri.
TIM