Padang | Proyek Penggantian Jembatan Air Gadang di kawasan Bungus, persis di depan Koramil Bungtekab, seharusnya menjadi kabar baik bagi masyarakat. Dengan nilai fantastis Rp12,6 miliar dari APBN Tahun Anggaran 2025, proyek ini diharapkan mampu memperlancar mobilitas warga sekaligus meningkatkan konektivitas daerah pesisir.
Namun kenyataannya, proyek yang dikerjakan oleh PT. Aruphadatu Adisesanti itu kini justru menuai kontroversi dan keresahan publik. Alih-alih menghadirkan manfaat, yang tampak justru sederet pelanggaran hukum, lemahnya pengawasan, serta potensi bahaya yang mengintai pekerja maupun masyarakat sekitar.
Fakta Mencengangkan di Lapangan
Hasil pantauan langsung di lokasi pada Senin, 01 September 2025, menggambarkan situasi yang jauh dari standar proyek konstruksi modern:
- Pekerja terlihat bekerja tanpa alat pelindung diri (APD) standar; helm, sepatu safety, sarung tangan, hingga kacamata pelindung absen dari tubuh para pekerja.
- Tidak ada pagar pengaman yang membatasi area proyek. Akibatnya, warga termasuk anak-anak, bisa melintas bebas hanya beberapa meter dari titik pengecoran maupun alat berat yang beroperasi.
- Arus lalu lintas semrawut, karena kendaraan proyek dibiarkan bercampur dengan pengguna jalan umum tanpa ada rambu peringatan atau petugas pengatur lalu lintas.
PPK Bungkam, Publik Bertanya-Tanya
Lebih memprihatinkan lagi, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dari Kementerian PUPR justru diam seribu bahasa. Padahal, proyek ini berdiri persis di depan Koramil Bungtekab, lokasi yang tidak mungkin luput dari perhatian.
Yang makin memperkuat kecurigaan publik, awak media sudah berulang kali mencoba melakukan konfirmasi. Baik melalui telepon, pesan resmi, hingga upaya bertemu langsung di lapangan. Namun, hingga berita ini diturunkan, tidak ada satu pun tanggapan yang diberikan oleh PPK.
Sikap bungkam tersebut menimbulkan tanda tanya besar. Apakah PPK memang tidak mengetahui kondisi lapangan, atau justru sengaja menutup mata? Diamnya PPK juga bisa dimaknai sebagai bentuk pengabaian terhadap prinsip keterbukaan informasi publik, yang notabene menjadi hak masyarakat sebagaimana diatur dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Padahal, Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah secara eksplisit menyatakan bahwa PPK adalah penanggung jawab penuh pelaksanaan kontrak. Pasal 11 ayat (1) huruf c menegaskan, PPK wajib mengawasi, mengendalikan, dan memastikan kontrak berjalan sesuai aturan, termasuk klausul Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
Fakta di lapangan membuktikan sebaliknya: pengawasan lemah, terkesan ada pembiaran, bahkan publik mulai berspekulasi jangan-jangan ada kepentingan tertentu yang dilindungi.
Kontraktor Abai, Hukum Dilanggar
Sebagai pelaksana proyek, PT. Aruphadatu Adisesanti jelas berada di posisi yang paling disorot. Bukti di lapangan memperlihatkan bahwa perusahaan ini tidak hanya lalai, tetapi telah mengabaikan regulasi yang berlaku, di antaranya:
- UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, yang menegaskan pengusaha wajib menjamin keselamatan tenaga kerja maupun orang lain di sekitar lokasi kerja. Fakta: pekerja tanpa APD, area kerja terbuka tanpa pagar.
- UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, Pasal 59 ayat (1) mewajibkan penyedia jasa melaksanakan pekerjaan sesuai standar keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan. Fakta: standar K3 diabaikan secara terang-terangan.
- Permen PUPR No. 21/PRT/M/2019 tentang Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi (SMKK), yang mewajibkan adanya rambu, pagar, hingga sistem pengamanan menyeluruh. Fakta: tidak ditemukan sistem tersebut di lokasi.
Dengan pelanggaran ini, kontraktor bisa dikenakan sanksi tidak hanya secara administratif, tetapi juga pidana jika kelalaian terbukti mengakibatkan korban.
Warga Geram: “Sebelum Jembatan Selesai, Bisa-Bisa Sudah Ada Korban”
Keresahan masyarakat Bungus kini semakin memuncak. Alih-alih menikmati manfaat pembangunan, warga justru hidup dalam kekhawatiran.
“Kalau begini caranya, sebelum jembatan selesai, bisa-bisa sudah ada korban duluan,” ungkap seorang warga dengan nada kesal saat ditemui di lokasi.
Masyarakat menuntut Kementerian PUPR turun tangan langsung, melakukan evaluasi terhadap PPK dan kontraktor. Mereka mendesak agar tindakan tegas segera dijatuhkan, mulai dari peringatan keras, pemutusan kontrak, hingga memasukkan perusahaan ke dalam daftar hitam (blacklist) jika terbukti melanggar.
Proyek Miliaran Bukan Arena Uji Coba
Kasus Jembatan Air Gadang Bungus memberikan pelajaran berharga: proyek bernilai miliaran rupiah bukanlah arena uji coba atau ajang main-main.
Kontraktor wajib tunduk pada hukum dan standar keselamatan. PPK tidak bisa bersembunyi di balik meja tanpa pengawasan nyata. Dan pemerintah pusat harus menunjukkan ketegasannya—bahwa setiap rupiah uang negara dipertanggungjawabkan, bukan dipermainkan.
Jika pola pembiaran ini terus dibiarkan, maka proyek tidak hanya berpotensi menimbulkan kerugian negara, tetapi juga mengancam keselamatan nyawa manusia.
Publik kini menanti: apakah pemerintah berani menegakkan hukum secara konsisten, ataukah membiarkan praktik buruk ini terus berlangsung demi kepentingan segelintir pihak?
TIM