Padang | Proyek Penggantian Jembatan Air Gadang di wilayah Bungus, tepat di depan Koramil Bungtekab, kini menjadi buah bibir masyarakat. Proyek strategis bernilai Rp12,6 miliar yang dibiayai APBN Tahun Anggaran 2025 dan dikerjakan oleh PT. Aruphadatu Adisesanti ini justru memantik polemik lantaran diduga sarat pelanggaran hukum dan teknis di lapangan.
Alih-alih memberi rasa aman dan manfaat, proyek ini justru menimbulkan keresahan. Hasil pantauan Senin, 01 September 2025, memperlihatkan kondisi yang mencengangkan:
- Pekerja tampak bekerja tanpa APD standar; sepatu safety, sarung tangan, helm, hingga kacamata pelindung tak terlihat digunakan.
- Area proyek tanpa pagar pengaman; warga, termasuk anak-anak, bebas melintas hanya beberapa meter dari lokasi pengecoran dan alat berat.
- Lalu lintas semrawut; kendaraan proyek bercampur dengan pengguna jalan umum, tanpa ada rambu atau petugas yang mengatur arus.
Situasi ini bukan sekadar kelalaian, tapi bisa dikategorikan sebagai pembiaran nyata terhadap potensi bahaya.
PPK Diduga Tutup Mata
Yang paling mengherankan, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dari Kementerian PUPR justru diam seribu bahasa. Dengan posisi proyek yang persis berada di depan Koramil Bungtekab, sulit dipercaya bila PPK tidak mengetahui kondisi lapangan yang terang-benderang.
Padahal, Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah secara tegas menempatkan PPK sebagai penanggung jawab penuh pelaksanaan kontrak. Pasal 11 ayat (1) huruf c menyebutkan, PPK wajib mengawasi dan memastikan pelaksanaan kontrak sesuai aturan, termasuk klausul Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
Namun yang tampak justru sebaliknya: pengawasan lemah, terkesan ada pembiaran, bahkan bisa diartikan melindungi kontraktor yang lalai. Kondisi ini membuat publik bertanya-tanya: apakah PPK benar-benar menjalankan tugasnya, atau ada sesuatu yang ditutup-tutupi?
Kontraktor Abaikan Hukum
Sebagai pelaksana, PT. Aruphadatu Adisesanti jelas tidak bisa berkelit. Bukti di lapangan menunjukkan perusahaan ini mengabaikan hukum yang berlaku, di antaranya:
- UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, Pasal 3 ayat (1) menegaskan: pengusaha wajib menjamin keselamatan tenaga kerja maupun orang lain di sekitar tempat kerja. Fakta di lapangan: pekerja tanpa APD, area kerja tanpa pagar.
- UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, Pasal 59 ayat (1) mewajibkan penyedia jasa melaksanakan pekerjaan sesuai standar keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan. Fakta: standar K3 diabaikan secara terang-terangan.
- Permen PUPR No. 21/PRT/M/2019 tentang SMKK, mengharuskan setiap proyek menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi. Fakta: tidak ada rambu, tidak ada pagar, tidak ada sistem pengamanan sama sekali.
Dengan sederet fakta ini, kontraktor bisa dikategorikan tidak hanya lalai, tetapi juga melanggar undang-undang dan kontrak kerja.
Konsultan Supervisi: Sisi Positif yang Masih Ada
Di tengah carut-marutnya pelaksanaan proyek, satu hal yang patut diapresiasi adalah kinerja konsultan supervisi PT. Exxo Gamindo Perkasa KSO – PT. Arci Pratama Konsultan.
Berbeda dengan kontraktor dan PPK, konsultan terlihat konsisten hadir di lapangan, mendampingi jalannya pekerjaan, dan melakukan kontrol teknis sesuai prosedur. Kehadiran mereka menjadi semacam “penjaga terakhir” agar proyek ini tetap berada pada rel teknis yang benar, meskipun faktor K3 diabaikan oleh pihak kontraktor.
Masyarakat Geram: Tuntut Evaluasi Tegas
Tak heran bila masyarakat Bungus kini semakin geram. Alih-alih menikmati manfaat pembangunan, mereka justru dihadapkan pada risiko keselamatan.
“Kalau begini caranya, sebelum jembatan selesai, jangan-jangan sudah ada korban duluan,” ungkap salah seorang warga dengan nada kesal.
Warga menuntut Kementerian PUPR segera turun tangan mengevaluasi PPK dan kontraktor. Mereka mendesak agar ada tindakan nyata: mulai dari peringatan keras, pemutusan kontrak, hingga blacklist perusahaan jika terbukti melanggar.
Proyek Miliaran Bukan Ajang Coba-Coba
Kasus Jembatan Air Gadang Bungus menjadi pelajaran penting: proyek bernilai miliaran rupiah bukanlah ajang coba-coba. Kontraktor tidak boleh bekerja seenaknya tanpa mematuhi aturan keselamatan, dan PPK tidak boleh bersembunyi di balik meja tanpa pengawasan nyata.
Jika dibiarkan, proyek ini bukan hanya berisiko menyebabkan kerugian negara, tetapi juga mengancam nyawa pekerja dan masyarakat.
Kontraktor dan PPK wajib bertanggung jawab penuh. Konsultan, yang konsisten di lapangan, layak diapresiasi. Namun, publik menunggu ketegasan pemerintah: apakah hukum benar-benar ditegakkan, atau justru dibiarkan demi kepentingan segelintir pihak?
TIM