Kab. Solok, Selasa 07 Oktober 2025 | Dunia birokrasi Kabupaten Solok kembali menjadi sorotan publik. Di tengah tuntutan reformasi ASN dan transparansi jabatan, justru muncul keputusan kontroversial dari pucuk pimpinan daerah.
Bupati Solok, Jon Firman Pandu, SH, menunjuk 12 Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Namun, satu nama yang paling menarik perhatian publik adalah Kurniati, S.Si., M.Si., istri sang bupati sendiri.
Lonjakan Jabatan yang Tak Lazim
Penunjukan Kurniati sebagai Plt. Staf Ahli Bupati Bidang Kemasyarakatan dan SDM menimbulkan tanda tanya besar. Sebab, baru tiga bulan sebelumnya, Kurniati dilantik menjadi Kepala Bagian Protokol dan Komunikasi Pimpinan (Prokomp).
Sebelum itu, ia merupakan pejabat fungsional madya di Dinas Kesehatan Kota Solok, bukan di lingkungan Pemkab Solok.
Dengan demikian, kenaikan jabatan dari posisi fungsional ke eselon II bahkan sebagai Plt, dinilai publik melompat pagar aturan birokrasi.
Seorang akademisi kebijakan publik di Sumatera Barat yang enggan disebutkan namanya menilai langkah tersebut “tidak lazim dan berpotensi maladministrasi.”
“Naik jabatan secepat itu tanpa seleksi terbuka bukan sekadar anomali, tapi indikasi kuat pelanggaran prinsip merit system,” ujarnya.
Fenomena “Bunda Segala Bunda”
Publik Kabupaten Solok sudah lama mengenal sosok Kurniati. Selain sebagai istri bupati, ia juga memegang berbagai peran simbolik seperti Bunda PAUD, Bunda Literasi, Bunda Guru, Bunda Stunting, Bunda Lingkungan Hidup, serta jabatan sosial strategis lainnya seperti Ketua TP PKK, Ketua Dekranasda, hingga Ketua Tim Pembina Posyandu.
Kini, dengan tambahan posisi Plt. Staf Ahli Bupati, publik menyindirnya sebagai “Bunda Segala Bunda” — simbol ironi ketika peran sosial berubah menjadi alat kekuasaan.
UU dan Regulasi yang Dilanggar
Penunjukan istri kepala daerah ke jabatan struktural bukan hanya soal etika, tetapi juga berpotensi melanggar sejumlah Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang berlaku, antara lain:
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN):
- Pasal 3: ASN harus bebas dari intervensi politik dan praktik nepotisme.
- Pasal 9: Jabatan ASN harus diisi berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja, bukan karena hubungan keluarga.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan:
- Pasal 17: Pejabat dilarang menyalahgunakan wewenang, termasuk menunjuk kerabat sendiri untuk jabatan publik.
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS:
- Pasal 108-110: Pengisian jabatan pimpinan tinggi pratama harus melalui seleksi terbuka oleh panitia seleksi independen.
Kode Etik ASN dan Nilai Dasar BerAKHLAK:
- Menuntut setiap aparatur menjunjung tinggi integritas, profesionalisme, dan tidak melakukan tindakan yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Dengan dasar tersebut, lonjakan karier Kurniati dari pejabat fungsional ke eselon II dapat dikategorikan sebagai pelanggaran prinsip merit system dan dugaan nepotisme administratif.
Nepotisme dan Korupsi Non-Materiil
Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), nepotisme termasuk dalam bentuk korupsi non-materiil, yaitu penyalahgunaan kekuasaan untuk menguntungkan keluarga atau kerabat.
Dalam laporan Indeks Integritas Sektor Publik, praktik semacam ini disebut sebagai ancaman serius terhadap sistem pemerintahan berbasis kompetensi.
KPK menegaskan, jika kepala daerah mengangkat keluarganya sendiri untuk jabatan strategis, maka itu dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sekda dan Inspektur: Jabatan Sakti Tak Tersentuh
Publik Solok juga menyoroti dua jabatan yang seolah “kebal evaluasi” — Sekda Medison, S.Sos., M.Si. dan Kepala Inspektorat Deri Akmal, ST.
Keduanya tak tersentuh rotasi jabatan, sementara belasan pejabat lain diputar.
Isu yang berkembang menyebut adanya perlakuan istimewa dan kompromi politik di balik distribusi jabatan di lingkaran pemerintahan daerah.
Pembelaan Bupati dan Pertanyaan Publik
Menanggapi sorotan, Bupati Jon Firman Pandu menyatakan bahwa penunjukan tersebut bersifat sementara.
“Tidak boleh ada kekosongan jabatan. Pelayanan masyarakat harus tetap berjalan. Penunjukan Plt hanya sementara hingga seleksi terbuka selesai,” katanya.
Namun, publik menilai pembelaan itu tak menjawab substansi persoalan: mengapa istri sendiri yang dipilih, bukan pejabat karier lain yang memenuhi syarat kompetensi?
Cermin Buram Tata Kelola Daerah
Kasus pengangkatan istri Bupati Solok mencerminkan degradasi nilai-nilai pemerintahan profesional di daerah.
Ketika jabatan publik dapat didistribusikan atas dasar hubungan keluarga, bukan prestasi, maka kepercayaan publik terhadap birokrasi akan runtuh.
Jika pemerintah pusat, Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), dan KPK tidak menindaklanjuti kasus seperti ini, dikhawatirkan praktik nepotisme akan dianggap lumrah dan menular ke daerah lain.
Catatan Redaksi
Kasus lonjakan jabatan istri Bupati Solok menjadi peringatan serius bagi pemerintah daerah di seluruh Indonesia.
Prinsip merit system dan profesionalisme ASN adalah fondasi pemerintahan modern. Mengabaikannya sama saja membuka pintu bagi dinasti politik dan korupsi kekuasaan.
Pemerintah pusat, KASN, dan aparat penegak hukum diharapkan turun tangan melakukan audit jabatan di Pemkab Solok, agar praktik semacam ini tidak menjadi warisan sistemik yang mencederai integritas ASN dan kepercayaan publik.
TIM