SAWAHLUNTO | Gemuruh mesin alat berat kini menjadi suara yang akrab di telinga warga Sawahlunto, Sumatera Barat, Minggu 05 Oktober 2025.
Bukan suara pembangunan, melainkan deru puluhan excavator yang menggali emas secara ilegal di tanah yang seharusnya dilindungi negara.
Fenomena tambang tanpa izin atau PETI (Pertambangan Tanpa Izin) ini semakin menggila di wilayah Kolok, Rantih, Kubang, Muaro Kalaban, hingga Talawi.
Ironisnya, meski aktivitas ini terang-terangan terjadi, tak ada langkah nyata dari aparat penegak hukum.
Aroma Pembiaran di Tanah Warisan Tambang Tua
Sawahlunto, yang dulunya dikenal sebagai kota tambang batu bara legendaris, kini menghadapi babak kelam baru:
tambang emas ilegal tumbuh bak jamur di musim hujan.
Setiap hari, alat berat keluar masuk kawasan perbukitan dan sungai tanpa hambatan.
Jalur keluar masuk solar subsidi, alat berat, dan hasil tambang disebut sudah memiliki pola teratur.
Semuanya berjalan lancar dan aman, seolah-olah kegiatan tersebut memiliki restu dari pihak berwenang.
“Sudah sering kami lapor ke polisi, ke pemerintah daerah, tapi tak pernah ada hasil. Excavator itu tetap bekerja, sungai makin kotor, sawah kami rusak, dan suara mesin tidak pernah berhenti,” ungkap seorang warga Talawi yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Masyarakat setempat menilai, kondisi ini bukan sekadar kelengahan, melainkan pembiaran yang disengaja.
Kecurigaan semakin menguat setelah muncul informasi bahwa dua oknum anggota TNI AD Korem 032/WBR berinisial “M” dan “D” diduga ikut membackup aktivitas tambang liar tersebut.
Tambang Ilegal, Untung Segelintir, Derita Semua
Dari hasil penelusuran di lapangan, aktivitas PETI di Sawahlunto tak hanya dilakukan secara tradisional, melainkan beroperasi dengan sistem terorganisir.
Satu lokasi bisa memiliki dua hingga empat alat berat besar yang bekerja siang dan malam.
Setiap hari, ratusan liter solar bersubsidi digunakan untuk menghidupkan mesin-mesin itu.
Bahan bakar tersebut diduga kuat diperoleh dari penyelewengan SPBU di sekitar kota.
“Kalau solar subsidi bisa disuplai ke tambang ilegal, berarti ada rantai pasok yang sengaja dibiarkan hidup,” ujar tokoh masyarakat Rantih.
Hasil tambang dijual ke luar daerah dengan nilai tinggi.
Namun keuntungan besar itu tidak pernah kembali ke masyarakat, malah menyisakan lumpur, hutan gundul, dan sungai tercemar merkuri.
Anak-anak di sekitar lokasi bermain di air keruh beracun, petani kehilangan sumber air, dan udara di beberapa dusun terasa berat oleh debu tambang.
Lingkungan Rusak, Ekonomi Warga Tersudut
Laporan warga menyebut, banyak sawah di pinggiran sungai Kolok dan Kubang kini tak bisa lagi ditanami.
Tanahnya berubah keras seperti semen akibat endapan lumpur tambang.
Sementara itu, ikan-ikan yang dulu menjadi sumber protein warga, hampir lenyap karena racun limbah tambang.
“Kami kehilangan sumber hidup. Dulu air jernih, sekarang hitam pekat. Kami harus beli air galon setiap hari,” keluh ibu rumah tangga di Nagari Muaro Kalaban.
Selain kerusakan lingkungan, dampak sosial juga muncul.
Sebagian warga tergoda ikut bekerja di tambang ilegal karena kebutuhan ekonomi, sementara yang menolak justru dianggap menghalangi “rezeki orang”.
Terjadi konflik horizontal yang makin memecah masyarakat.
Diamnya Aparat, Munculnya Kecurigaan
Puluhan alat berat tidak mungkin bisa masuk begitu saja tanpa diketahui aparat.
Padahal, untuk mengangkut satu unit excavator ke lokasi tambang diperlukan truk besar, izin jalan, dan waktu bongkar-muat yang mencolok.
Namun hingga kini, tak ada satu pun penyitaan atau penangkapan berarti di wilayah tersebut.
“Kalau aparat mau, satu malam pun bisa berhenti itu tambang. Tapi kalau dibiarkan, artinya ada yang melindungi,” ujar seorang tokoh adat setempat.
Publik kini menyoroti kinerja Polres Sawahlunto dan Polda Sumbar.
Banyak pihak menilai, lemahnya penegakan hukum justru menjadi ruang nyaman bagi para pelaku tambang liar untuk terus merusak alam.
Bahkan, beberapa warga menduga aparat tertentu turut menikmati aliran dana tambang ilegal melalui sistem “setoran keamanan”.
Bola Panas di Tangan Penegak Hukum
Kini, semua mata tertuju pada aparat.
Apakah Kapolres Sawahlunto dan jajarannya berani mengambil tindakan nyata atau membiarkan isu ini menjadi bara yang makin membakar kepercayaan publik?
Desakan datang dari berbagai elemen masyarakat dan lembaga pemerhati lingkungan agar kasus PETI di Sawahlunto dijadikan atensi nasional.
“Kalau benar aparat bermental bersih, hentikan tambang itu sekarang juga. Jangan tunggu masyarakat turun ke jalan,” tegas salah satu aktivis lingkungan lokal.
Landasan Hukum dan Pasal yang Dilanggar
Kegiatan tambang ilegal ini jelas melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).
Pasal 158 menegaskan:
“Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa izin usaha pertambangan (IUP), izin pertambangan rakyat (IPR), atau izin usaha pertambangan khusus (IUPK) dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar.”
Selain itu, jika benar ada keterlibatan aparat dalam membekingi kegiatan tambang, maka mereka berpotensi melanggar:
- Pasal 421 KUHP, tentang penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik.
- Pasal 3 dan 12 huruf e UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 (Tipikor), terkait gratifikasi atau penyalahgunaan jabatan.
- Pasal 13 UU No. 28 Tahun 1999, tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN.
- Pasal 55 KUHP, tentang turut serta atau membantu tindak pidana.
Fakta Lapangan: Peta Lokasi dan Dampak Tambang Ilegal Sawahlunto
Lokasi Tambang | Jenis Aktivitas | Status Izin | Dampak Lingkungan | Kondisi Terkini |
---|---|---|---|---|
Kolok | Galian emas dengan excavator | Tidak ada izin | Sungai tercemar, sawah rusak | Alat berat masih beroperasi |
Rantih | Penambangan pasir dan emas | Tidak ada izin | Air sungai keruh, ikan mati | Aktivitas malam hari |
Kubang | Tambang terbuka di perbukitan | Tidak ada izin | Hutan gundul, longsor | Excavator terpantau 3 unit |
Muaro Kalaban | Penggalian tanah dan batu | Tidak ada izin | Jalan rusak, debu pekat | Solar subsidi digunakan |
Talawi | Galian emas di lereng bukit | Tidak ada izin | Pencemaran air, konflik sosial | Tidak ada penertiban |
Langkah Konfirmasi Media
Redaksi akan melakukan konfirmasi langsung kepada Kapolres Sawahlunto AKBP Simon Yana Putra, S.I.K., M.H., dan Kasat Reskrim Polres Sawahlunto, serta pihak Korem 032/WBR guna meminta klarifikasi resmi.
Upaya konfirmasi juga akan ditembuskan ke Polda Sumbar dan Mabes Polri, untuk memastikan sejauh mana atensi mereka terhadap maraknya PETI di wilayah hukum Sumatera Barat.
Catatan Redaksi
Tulisan ini disusun berdasarkan hasil investigasi lapangan, dokumentasi visual, dan keterangan warga di sekitar lokasi tambang.
Seluruh pihak yang disebut tetap memiliki hak jawab dan hak koreksi sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Redaksi menegaskan komitmen untuk mengawal isu ini hingga ada penegakan hukum nyata dan pemulihan lingkungan di Sawahlunto.
TIM